Buah
Cinta Berasas Takwa
Ini
kisah indah percintaan seorang tabi’in
mulia. Namanya Mubarak.
Dulu,
Mubarak adalah seorang budak. Tuannya memerdekakannya karena
keluhuran pekerti dan kejujurannya. Setelah merdeka ia bekerja pada
seorang kaya raya yang memiliki kebun delima yang cukup luas. Ia
bekerja sebagai penjaga kebun itu. Keramahan dan kehalusan tutur
sapanya, membuatnya disenangi teman-temannya dan penduduk sekitar
kebun.
Suatu
hari pemilik kebun itu memanggilnya dan berkata,
“Mubarak,
tolong petiklah buah delima yang manis dan masak!”
Mubarak
seketika itu bergegas ke kebun. Ia memetikkan beberapa buah dan
membawanya pada Tuannya. Ia menyerahkannya pada Tuannya. Majikannya
mencoba delima itu dengan penuh semangat. Namun apa yang terjadi,
ternyata delima yang dipetik Mubarak rasanya kecut dan belum masak.
Ia mencoba satu per satu dan semuanya tidak ada yang manis dan
masak.
Pemilik kebun itu gusar dan berkata, “Apakah kau
tidak bisa membedakan mana yang masak dan yang belum masak? Mana yang
manis dan yang kecut?”
“Maafkan saya Tuan, saya sama
sekali belum pernah merasakan delima. Bagaimana saya bisa merasakan
yang manis dan yang kecut,” jawab Mubarak.
“Apa? Kamu
sudah sekian tahun kerja di sini dan menjaga kebun delima yang luas
yang telah berpuluh kali panen ini dan kau bilang belum merasakan
delima. Kau berani berkata seperti itu!” Pemilik kebun marah merasa
dipermainkan.
“Demi Allah Tuan, saya tidak pernah mencicipi
satu butir buah delima pun. Bukankah Anda hanya memerintahkan saya
menjaganya dan tidak memberi izin pada saya untuk mencicipinya?”
lirih Mubarak.
Mendengar ucapan itu Pemilik kebun itu
tersentak. Namun ia tidak langsung percaya begitu saja. Ia lalu pergi
bertanya pada teman-teman Mubarak dan tetangga di sekitarnya tentang
kebenaran ucapan Mubarak. Teman-temannya mengakui tidak pernah
melihat Mubarak makan buah delima. Juga para tetangganya.
Seorang
temannya bersaksi, “Ia orang yang jujur, selama ini tidak pernah
bohong. Jika ia tidak pernah makan satu buah pun sejak bekerja di
sini berarti itu benar.”
Kejadian
itu benar-benar menyentuh hati sang pemilik kebun. Diam-diam ia kagum
dengan kejujuran pekerjanya itu.
Untuk lebih meyakinkan
dirinya, ia kembali memanggil Mubarak,
“Mubarak, sekali lagi,
apakah benar kau tidak makan satu buah pun selama menjaga kebun
ini?”
“Benar Tuan”.
“Berilah aku alasan yang
bisa aku terima!”
“Aku tidak tahu apakah Tuan akan
menerima penjelasanku apa tidak. Saat aku pertama kali datang untuk
bekerja menjaga kebun ini, Tuan mengatakan tugasnya hanya menjaga.
Itu akad
nya.
Tuan tidak mengatakan aku boleh merasakan delima yang aku jaga.
Selama ini aku menjaga agar perutku tidak dimasuki makanan yang
syubhat
apalagi yang haram.
Bagiku karena tidak ada izin yang jelas dari Tuan, maka aku tidak
boleh memakannya.”
“Meskipun itu delima yang jatuh ke
tanah, Mubarak?”
“Ya, meskipun delima yang jatuh ke tanah.
Sebab itu bukan milikku, tidak halal bagiku. Kecuali jika pemiliknya
mengizinkan aku boleh memakannya.”
Kedua mata pemilik kebun
itu berkaca-kaca. Ia sangat tersentuh dan terharu. Ia mengusap air
matanya dengan sapu tangan dan berkata,
“Hai Mubarak, aku hanya
memiliki seorang anak perempuan. Menurutku aku mesti mengawinkan
dengan siapa?”
Mubarak menjawab,
“Orang-orang
Yahudi mengawinkan anaknya dengan seseorang karena harta. Orang
Nasrani mengawinkan karena keindahan. Dan orang Arab mengawinkan
karena nasab dan keturunan. Sedangkan orang muslim mengawinkan
anaknya pada seseorang karena melihat iman dan takwanya. Anda tinggal
memilih, mau masuk golongan yang mana? Dan kawinkanlah putrimu dengan
orang yang kau anggap satu golongan denganmu”.
Pemilik kebun
berkata, “Aku rasa tidak ada orang yang lebih bertakwa
darimu”.
Akhirnya pemilik kebun itu mengawinkan putrinya
dengan Mubarak. Putri pemilik kebun itu ternyata gadis cantik yang
shalehah dan cerdas. Ia hafal kitab Allah dan mengerti sunnah
Nabi-Nya. Dengan kejujuran dan ketakwaan, Mubarak memperoleh nikmat
yang agung dari Allah SWT. Ia hidup dalam surga cinta. Dari
percintaan pasangan mulia itu lahirlah seorang anak lelaki yang
diberi nama “Abdullah”. Setelah dewasa anak ini dikenal dengan
sebutan “Imam Abdullah bin Mubarak” atau “Ibnu Mubarak”,
seorang ulama di kalangan tabi’in yang sangat terkenal. Selain
dikenal sebagai ahli hadits, Imam Abdullah bin Mubarak juga dikenal
sebagai ahli zuhud. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya banyak diakui
ulama pada zamannya.
__________
Dari
Novel "Di Atas Sajadah Cinta" Chapter 2, Karya
Habiburrahman El Shirazy.